Jumat, 24 Mei 2013

SEKOLAH INKLUSI (SMP Negeri 33 Purworejo)


Sekolah Inklusi di SMP Negeri 33 Purworejo



A.Pengertian Sekolah Inklusi
               Sekolah inklusi merupakan sekolah reguler yang menyatukan antara anak-anak dengan dan tanpa berkebutuhan khusus untuk mengikuti proses belajar mengajar bersama-sama. Sistem belajar pada sekolah inklusi tidak jauh berbeda dengan sekolah regular pada umumnya. Mereka (para siswa) berada dalam satu kelas yang idealnya dalam satu kelas terdiri dari 1- 6 anak berkebutuhan khusus dengan dua guru dan satu terapis atau shadow teacher yang bertanggung jawab di bawah koordinasi guru untuk memberi perlakuan khusus kepada anak-anak berkebutuhan khusus, sehingga mereka dapat mengikuti pelajaran dengan baik. Porsi belajar pada anak berkebutuhan khusus lebih kecil daripada yang ‘normal’. Hal ini tidak bertujuan untuk membatasi, melainkan kebutuhan untuk terapi. Pada waktu-waktu tertentu, bila perlu anak-anak tersebut akan ‘ditarik’ dari kelas reguler dan dibawa ke ruang individu untuk mendapatkan bimbingan khusus.
               Pendidikkan inklusi memang tengah bergerak progresif, namun masih banyak ditemukan kendala untuk melaksanakannya. Dari fasilitas yang terbatas, misalnya fasilitas program khusus, seperti ruang terapi, alat terapi, maupun sumber daya manusia yang kapabel. Sekolah inklusi adalah sebuah metamorfosa budaya manusia yang semakin moderen dan menglobal. Bahwa setiap manusia adalah sama, punya hak yang sama dan kesempatan yang sama untuk berkembang dan mendapatkan pendidikan demi mengejar kehidupannya yang lebih baik.Sekolah inklusi merupakan salah satu jawaban, bahwa pendidikan tak mengenal diskriminasi, semua berhak untuk mendapatkannya. Perlu juga dilakukan edukasi kepada masyarakat tentang sekolah inklusi sehingga mereka memperoleh banyak informasi sebagai alternative pilihan untuk menyekolahkan anaknya yang kebetulan berkebutuhan khusus.
            Mengapa harus ada sekolah inklusi? Setiap orang memiliki hak yang sama untuk memperoleh manfaat maksimal dari pendidikan. UUD 1945 pasal 31 ayat (1) dan (2) mengamanatkan bahwa setiap warga Negara mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan. Selain itu, UU No. 20 tahun 2003 Sistem Pendidikan Nasional pasal 3, 5, 32 dan UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pasal 48 dan 49, yang pada intinya Negara, pemerintah, keluarga, dan orang tua wajib memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada anak untuk memperoleh pendidikan. Jadi semua orang berhak sekolah.
            Bagaimana Sekolah Inklusi Memberikan Pelayanan ABK? Di dalam sekolah inklusi terdapat peserta didik dengan berbagai macam latar belakang dari yang reguler (biasa) sampai anak berkebutuhan khusus. Pelayananan pendidikan yang diberikan secara bersamaan, sehingga akan terjadi interaksi antara keduanya, saling memahami, mengerti adanya perbedaan, dan meningkatkan empati bagi anak-anak reguler. Untuk proses belajar mata ajaran tertentu bagi sebagian ABK dengan kategori autis,  tunanetra, tunarungu, atau tuna grahita, ABK tersebut dimasukkan di dalam ruang khusus untuk ditangani guru khusus dengan kegiatan terapi sesuai kebutuhan. Anak-anak berkebutuhan khusus tersebut juga tetap bisa belajar di kelas regular dengan guru pendamping bersamanya selain guru kelas.
            Model-model pembelajaran ABK yang dapat diterapkan di sekolah inklusi: (1).Kelas regular/ inklusi penuh yaitu ABK yang tidak mengalami gangguan intelektual mengikuti pelajaran di kelas biasa. (2). Cluster, para ABK dikelompokkan tapi masih dalam satu kelas regular dengan pendamping khusus, (3). Pull out, ABK ditarik ke ruang khusus untuk kesempatan dan pelajaran tertentu, didampingi guru khusus, (4). Cluster and pull out, kombinasi antara model cluster dan pull out, (5). Kelas khusus, sekolah menyediakan kelas khusus bagi ABK, namun untuk beberapa kegiatan pembelajaran tertentu siswa digabung dengan kelas regular, dan (6). Khusus penuh, sekolah menyediakan kelas khusus ABK, namun masih seatap dengan sekolah regular.


B.  Lamban Belajar
             Anak lamban belajar (slow leaner) adalah anak yang memiliki potensi intelektual sedikit di bawah normal tetapi belum termasuk tuna grahita (biasanya memiliki IQ sekitar 70-90). Tidak juga dikategorikan anak yang kesulitan belajar karena anak yang mengalami kesulitan belajar tidak selalu terjadi pada anak-anak yang berIQ rendah, kesulitan belajar juga bisa terjadi pada anak yang berIQ normal.
            Anak lamban belajar biasanya mengalami hambatan atau keterlambatan dalam berfikir, merespon rangsangan dan adaptasi sosial, tetapi masih jauh lebih baik dibanding dengan tuna grahita, lebih lamban dari yang normal. Mereka butuh waktu lebih lama dan berulang-ulang untuk dapat menyelesaikan tugas-tugas akademik maupun non akademik. Untuk itu merka membutuhkan pelayanan khusus.
            Ciri-ciri anak lamban belajar :
1.      Rata-rata prestasi belajarnya selalu rendah (kurang dari 6)
2.      Dalam menyelesaikan tugas-tugas akademik sering terlambat
3.      Daya tangkap terhadap pelajaran terlambat
4.      Pernah tidak naik kelas.

C. Hasil Observasi Sekolah Inklusi (Anak Lamban Belajar)
            Setelah melakukan observasi di sekolah inklusi di SMPN 33 Purworejo di Kabupaten Purworejo, maka dapat dilaporkan hasilnya sebagai berikut :
1.      Nama Sekolah
Sekolah Inklusi yang menjadi sasaran observasi adalah SMP Negeri 33 Purworejo, dengan alamat : Jl. Jend. Sudirman Nomor 92, nomor telepon 0275-323829,  Kabupaten Purworejo.
SMP Negeri 33 Purworejo dipimpin oleh Kepala sekolah bernama Toha Syaifudin, S.Pd, dengan dibantu oleh staff pengajar/guru sejumlah 42 orang, bersatatus PNS dan Non PNS.

2.      Kondisi   Siswa
Siswa/anak didik di SMP Negeri 33 Purworejo keseluruhan baik yang berkebutuhan khusus maupun yang tidak berkebutuhan khusus sejumlah  674    anak, laki-laki  366  anak, perempuan 308    anak. Adapun anak yang mengalami kelambatan belajar untuk kelas VIII sejumlah 8 anak,  sedang  di kelas VII ada 12 anak. Jadi jumlah total anak yang mengalami kelambatan belajar di SMP Negeri 33 Purworejo sejumlah 20 anak.
Jumlah tersebut tidak dijadikan dalam satu kelas khusus tetapi sesuai dengan definisinya, maka anak-anak tersebut dimasukkan pada kelas reguler bersama-sama anak yang tidak mengalami kelambatan belajar, dengan pengaturan penempatannya setiap kelas dimasukkan 2 anak yang mengalami kelambatan belajar.
Dan ternyata anak-anak yang tidak mengalami kelambatan belajar tidak merasa terganggu dan anak yang mengalami kelambatan belajar juga tidak mengalami kesulitan dalam bersosialisasi dengan teman-teman  maupun gurunya.
Anak-anak ABK di SMP Negeri 33 Purworejo secara fisik tidak ada yang mengalami kelainan, mereka smua biasa saja seperti anak-anak pada umumnya, normal tanpa gangguan. Namun ada satu anak ABK yang sedikit agak berbeda cenderung ke bentuk wajah mongolia. Anak tersebut lulusan dari SDSLB Negeri Yogyakarta. Sedangkan anak ABK yang lain lulusan dari SD biasa. Maka mereka tidak minder dan bisa bergaul dengan anak-anak lainnya tanpa kesulitan.

3.      Identifikasi Anak Didik yang Mengalami Kelambatan Belajar
Anak didik yang mengalami kelambatan belajar diidentifikasi dari seleksi masuk ke sekolah SMP Negeri 33 Purworejo dengan Nilai Ebtanas Murni (NEM) yang diperoleh dari Sekolah Dasar sebagai syarat masuk yang sudah distandar minimalkan. Minimal nilai NEM untuk masuk di SMP Negeri 33 adalah 19 atau rata-rata 6,33. Dari seluruh pendaftar maka diambil yang memenuhi persyaratan sebanyak 250 anak dari rangking nilai teratas, lalu diambil nilai NEM rangking terbawah sampai dengan NEM 12 untuk dikategorikan anak yang lambat belajar, lalu diajak bergabung dalam kelas reguler. Selain itu juga, identifikasi  dilakukan dengan tes IQ untuk mengetahui kondisi IQ anak dan mengetahui apakah benar mereka berkategori anak lambat belajar. Dan ternyata anak-anak yang lambat belajar di SMP Negeri 33 Purworejo memiliki IQ berkisar antara 85-90.

4.      Penerapan Kurikulum Sekolah Inklusi
Sekolah inklusif merupakan program sekolah yang diselenggarakan dengan mencampur anak yang berkebutuhan khusus (ABK) dengan anak normal dalam kelas reguler. Di SMP Negeri 33 Purworejo semua ABK yang masuk dalam kelas reguler mengikuti proses pembelajaran seperti biasa tanpa ada perbedaan. Semua mata pelajaran yang sudah diprogramkan dalam kurikulum harus diikuti dan dipelajari ABK tanpa terkecuali. Baik KD maupun KKMnya sama, hanya tingkat kedalaman materinya yang berbeda. Sehingga dalam hal ini setiap guru harus memahami bahwa anak-anak ABK tidak bisa tidak naik kelas, mereka harus naik kelas meskipun nilainya jauh di bawah rata-rata kelas.
Untuk nilai akademik memang tidak dituntut sama dengan anak-anak yang tidak mengalami kelambatan belajar. Karena kemampuan akademiknya mengalami sedikit hambatan, maka anak-anak ABK di SMP Negeri 33 Purworejo lebih diarahkan pada perkembangan non akademik melalui kegiatan ekstrakurikuler. Bermaca-macam program ekstrakurikuler ditawarkan untuk ABK antara lain pertukangan, perbengkelan, tata busana, tata boga, dan sebagainya. Dengan demikian diharapkan kecerdasan majemuk yang dimiliki anak dapat dikembangkan secara maksimal, sehingga  mereka memiliki dan mampu mengembangkan minat dan bakatnya sebagai bekal di masa depannya kelak, agar mereka bisa hidup mandiri dan mampu menyesuaikan diri dengan segala perubahan di lingkungannya. Untuk itu maka pihak sekolah juga mendatangkan tenaga profesional dari luar, dalam rangka membantu para ABK agar mendapat kesempatan belajar  ketrampilan secara efektif.

5.      Bentuk Pendampingan
SMP Negeri 33 Purworejo dalam menyelenggarakan sekolah inklusi yang ditunjuk oleh pemerintah melalui Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Purworejo, berusaha untuk memberikan pelayanan secara maksimal kepada ABK. Para guru dikondisikan untuk mampu dan mampu memahami dan melayani ABK dengan baik, sehingga dari pihak guru tidak ada keluhan dalam pemberian nilai terhadap mereka. Para pendidik dan tenaga kependidikan melayani ABK sama dengan anak-anak lainnya dalam segala hal yang berkaitan dengan proses pembelajaran dan tatatertib/peraturan di sekolah.
Pada setiap hari Sabtu ada pendampingan dari Sekolah Luar Biasa (SLB) yang ditunjuk dari dinas untuk mendampingi para ABK. Adalah ibu Suci Rahayuningsih dari SLB Muhammadiyah Purworejo yang datang setiap hari Sabtu untuk memantau perkembangan para ABK dan mendampingi mereka. Tenaga pendampingan dari SLB cukup berkompeten jika ditinjau dari pendidikannya yang memang dari pendidikan yang khusus menangani anak-anak SLB. Biasanya setiap kali datang ada seorang anak yang dihadapi untuk sekedar bincang-bincang atau curhat, juga membantu menjelaskan pelajaran-pelajaran sekolah yang kurang dipahami ABK. Waktu untuk pendampingan dari SLB sangat terbatas sekitar 1-2 jam saja setiap hari sabtu dan hanya untuk satu anak.
Namun demikian anak-anak merasa senang karena merasa sudah ada perhatian dari pemerintah dengan adanya pendampingan tersebut, hal ini disampaikan oleh ABK di SMP Negeri 33 tersebut.

6.      Pendanaan
Sekolah inklusi yang diselenggarakan di SMP Negeri 33 Purworejo dibantu pendanaannya oleh pemerintah melalui Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Purworejo. Bantuan dana yang sudah diterima :
-         Pertama sebesar Rp. 50.000.000,-
-         Kedua sebesar Rp. 75.000.000,-
-         Ketiga sebesar Rp. 20.000.000,-
Bantuan tersebut digunakan untuk :
a.      Beaya operasional yang antara lain untuk memberi uang saku pada guru pendamping dari SLB, untuk studi banding para guru SMP Negeri 33 Purworejo ke SLB-SLB, dan untuk membayar tenaga profesional yang didatangkan dari luar sekolah SMP Negeri 33 Purworejo untuk mengajarkan life skill pada ABK ketika  kegiatan ekstrakurikuler.
b.     Untuk membeli sarana dan prasarana/media pembelajaran dalam pelaksanaan program sekolah inklusi, misalnya : untuk membeli alat bengkel, alat-alat menjahit, peralatan memasak, dan sebagainya.
Selain dari bantuan beaya operasional dan pengadaan sarana prasarana, pemerintah juga memberi beasiswa pada anak-anak ABK  di SMP Negeri 33 Purworejo berbentuk uang tunai sebesar Rp. 750.000,- /anak/tahun.


7.      Hasil yang dicapai Sekolah Inklusi
Setelah dua tahun melaksanakan program Sekolah Inklusi, SMP Negeri 33 Purworejo merasa mampu melaksanakan program Sekolah Inklusi tersebut. Para ABK menunjukkan hasil yang signifikan dalam perkembangan belajarnya. Bakat dan minat mereka tersalurkan melalui program ekstrakurikuler yang dikembangkan di sekolah SMP Negeri 33 Purworejo. Dan para guru merasa bangga dapat melaksanakan tugas mulianya membantu perkembangan anak-anak yang mengalami kelambatan belajar tersebut.
Prestasi yang diraih anak-anak tersebut antara lain :
a.     Juara 1 bulu tangkis tingkat kabupaten di Purworejo, tahun 2012
b.     Juara 2 bulu tangkis tingkat kabupaten di Purworejo, tahun 2013
















Smart Parenting (PENDIDIKAN KARAKTER BERBASIS KELUARGA)





PENDIDIKAN KARAKTER BERBASIS KELUARGA
 (Smart Parenting)

A.    Teori-teori Belajar
            Sebelum membahas masalah pendidikan karakter berbasis keluarga, terlebih dahulu sebagai pendidik maupun orang tua yang mengasuh, membentuk dan membangun pola pikir anak, maka seyogyanya kita harus memahami teori-teori belajar yang nantinya pasti bermanfaat untuk proses dalam aktivitas pendidikan. Banyak sekali teori belajar yang dikemukan para ahli dari hasil penelitiannya. Dalam paper ini akan dibahas beberapa teori belajar antara lain :
1.      Teori tentang Belajar Observasional
Teori belajar observasional dikemukan oleh Bandura, yang sebelumnya teori ini telah diyakini dan diteliti oleh Plato dan Aristoteles. Mereka berkeyakinan bahwa manusia belajar dengan mengamati manusia lain. Menurut mereka pendidikan sampai tingkat tertentu adalah pemilihan model terbaik untuk disajikan kepada siswa sehingga kualitas model itu bisa diamati dan ditiru.
Empat proses utama yang diyakini Bandura dapat mempengaruhi jalannya belajar observasional, yaitu :
a.        Proses atensional, yakni yang menentukan aspek mana dari situasi modelling yang akan diperhatikan.
b.      Proses retensional, yakni melibatkan pengkodean informasi secara imajinal dan verbal sehingga bisa disimpan dan dipakai di waktu mendatang.
c.       Proses pembentukan perilaku, yakni yang melibatkan kemampuan untuk memberi respon yang dibutuhkan untuk menterjemahkan hal-hal yang sudah dipelajari ke dalam perilaku.
d.      Proses motivasional yakni yang menentukan aspek mana dari yang telah dipelajari yang akan diterjemahkan ke dalam tindakan. Penguatan adalah proses motivasional utama sebab ia bukan hanya menyebabkan pengamat fokus pada aspek fungsionnal dari perilaku model, tetapi juga memberi insentif untuk bertindak berdasarkan informasi yang diperoleh dari observasi itu.
Informasi yang didapat dengan mengamati kontingensi penguatan dapat berasal dari pengamatan langsung seseorang dengan penguatan, atau secara tak langsung melalui pengamatan konsekuensi dari perilaku model.
Salah satu konsep utama Bandura adalah determinisme resiprokal, yang menyatakan bahwa ada interaksi konstan antara lingkungan, perilaku, dan orang. Menurut Bandura dapat dikatakan bahwa perilaku memengaruhi lingkungan sebagai lingkungan memengaruhi perilaku. Selainitu, orang memengaruhi perilaku dan lingkungan. Maka dikatakan juga bahwa dengan modeling dapat digunakan untuk mengajarkan keahlian baru, menghambat respons, mengajarkan kreativitas, dan mengajarkan kaidah dan aturan umum.
Teori Bandura dinamakan teori kognitif sosial karena ia menekankan fakta bahwa hampir semua informasi kita peroleh dari interaksi kita dengan orang lain. Karena teori Bandura menekankan pada proses kognitif seperti bahasa dan memori, karena efektif sebagai pedoman dalam praktik psikoterapi, juga karena implikasinya yang mendalam bagi pengasuhan anak dan praktik pendidikan, serta karena kemampuannya untuk memicu riset baru, maka teori Bandura sangat populer dewasa ini dan barangkali akan lebih populer lagi di masa depan.

2.      Teori tentang Belajar Konstruktivismeteori belajar konstruktivisme dikemukakan oleh Vygotsky. Berikut ini merupakan prinsip-prinsip dasar dari teori Vygotsky :
a.       Teori Vygotsky menekankan interaksi interpersonal, cultural-historical, dan faktor individual sebagai kunci perkembangan manusia, interaksi manusia dan lingkungan dapat menstimulasi proses perkembangan khususnya perkembangan kognitif. Aspek cutural-historical Vygotsky menjelaskan bahwa belajar dan perkembangan tidak dapat dilepaskan dari konteksnya. Cara siswa berinteraksi dengan lingkungan mentransformasi pikiran siswa. Makna suatu konsep berubah ketika konsep tersebut dihubungkan dengan dunia luar. Misalnya sekolah dimaknai sebagai bukan hanya sebagai bangunan saja melainkan sebuah institusi untuk belajar.
b.      Regulasi diri berkembang melalui internalisasi tindakan dan operasi mental yang terjadi dalam interaksi sosial. Dalam self-regulasi ini, Vygotsy menyatakan bahwa pembelajaran mendahului perkembangan. Menurut Vygotsky, pembelajaran melibatkan penerimaan simbol melalui instruksi dan pemberian informasi dari orang lain. Sedangkan perkembangan melibatkan penginternalisasian simbol yang telah diterima oleh anak sehingga anak-anak dapat berfikir dan menyelesaikan masalah tanpa bantuan orang lain.kemampuan inilah yang dimaksud Vygotsky sebagai self-regulation.
c.       Perkembangan manusia terjadi melalui bahasa dan simbol. Bahasa memiliki peran penting dalam proses pembelajaran anak. Bahasa merupakan produk dari budaya dan bahasa juga merupakan  dasar dari peradaban budaya manusia. Dengan adanya bahasa, manusia dapat melakukan proses berfikir, mengembangkan intelektual, dan mengatur perilaku. Dengan bahasa manusia dapat berinteraksi sosial satu sama lain. Sedangkan apabila tidak ada bahasa, maka manusia akan terbatas pada proses mental paling dasar. Dengan demikian Vygotsky yakin bahwa dengan bahasa pembelajaran dan perkembangan intelektual anak akan berkembang dengan baik.
d.      Anak  dapat melakukan tugas-tugas yang menantang atau sedikit lebih sulit ketika anak dibantu oleh orang-orang yang berkompeten. Vygotsky menyatakan bahwa anak-anak memiliki batas teratas kemampuan potensial (actual development level) untuk melakukan tugas-tugas secara mandiri tanpa bantuan orang lain. Akan tetapi anak-anak juga memiliki kemampuan potensial megerjakan tugas-tugas yang lebih menantang dengan bantuan orang lain. Kemaqmpuan anak dalam mengerjakan tugas dengan dibantu orang lain inilah yang kemudian dikenal sebagai zona of proximal growth.

3.      Teori Belajar tentang  Conditioning Operan (Operant Conditioning)
Istilah conditioning operan diciptakan oleh Skinner dari memiliki arti umum conditioning perilaku. Lalu diteliti kembali oleh Thorndike.  Istilah operan di sini berarti operasi yang pengaruhnya mengakibatkan organisme melakukan perbuatan pada lingkunganya, misalnya : perilaku motor yang biasanya merupakan perbuatan yang dilakukan secara sadar.
Dalam conditioning operan, terjadi tanpa didahului stimulus, melainkan oleh efek yang ditimbulkan oleh reinforcer. Reinforcer itu sendiri sesungguhnya adalah stimulus yang meningkatkan kemungkinan timbulnya sejumlah respons tertentu, akan tetapi tidak sengaja diadakan sebagai pasangan stimulus lainnya seperti dalam classical respondent conditioning.
Menurut Skinner, bahwa untuk suatu prosedur yang menyebabkan individu bisa mengontrol tingkah laku organisme melalui pemberian ganjaran yang bijaksana dalam lingkungan yang relatif bebas. Skinner berpendapat bahwa perilaku manusia selalu dikendalikan oleh faktor luar ( faktor lingkungan, rangsangan atau stimulus ). Ia mengatakan bahwa dengan memberikan ganjaran positif maka suatu perilaku akan ditumbuhkan dan dikembangkan. Sebaliknya jika diberikan ganjaran yang negatif maka suatu perilaku akan dihambat.
Contoh, anak yang buang air di celana, selalu dimarahi ibunya ( ganjaran negatif ). Sebaliknya, jika ia mengatakan terlebih dahulu kepada ibunya bahwa ia akan buang air sehingga ibu bisa membawanya ke WC, anak itu akan dipuji ibunya ( ganjaran positif ). Lama-kelamaan anak itu belajar buang air di WC saja, bukan di sembarang tempat. Di pihak lain, jika anak itu mengatakan bahwa ia ingin buang air, padahal ia tidak sakit perut, ibunya juga akan memarahinya, karena setelah berepot-repot mendudukannya di WC, anak itu tidak mau buang air. Dengan demikian anak itu belajar bahwa ia hanya boleh mengatakan mau buang air jika sakit perut.
Proses belajar seperti ini oleh Skinner dinamakan proses belajar operan.

4.      Teori Belajar  Ki Hajar Dewantara
Selain ahli dari manca negara, harus ditengok juga ahli dalam bidang pendidikan dan merupakan pejuang pendidikan di Indonesia. Beliaulah Ki Hajar Dewnatara, yang telah mengangkat derajad dan martabat bangsa Indonesia melalui pendidikan. Karena sangat betul bahwa hebatnya suatu bangsa tidak bisa lepas dari pendidikan bangsa itu sendiri.
Filsafat pendidikan yang ditanamkan Ki Hajar Dewantara adalah ing ngarso sung tulodho, ing madyo mangun karso, tutwuri handayani. Artinya :
-          Ing ngarso sung tulodho, seorang pendidik  apabila di depan harus bisa menjadi panutan bagi  peserta didiknya.
-          Ing madyo magun karso, seorang pendidik apabila berada di tengah anak didiknya, harus mampu membangkitkan dan memotivasi  agar anak didik mampu berekspresi, bereksperimen dan bereksplorasi dalam proses belajarnya.
-          Tutwuri handayani, seorang pendidik apabila berada di belakang harus dapat memberi dorongan agar anak didik berani untuk melakukan suatu tindakan yang membuat anak didik berprestasi.
Dalam teori belajar yang dikemukakan Ki Hajar Dewantara, anak lebih diberi kebebasan untuk menentukan dan mengembangkan minat dan bakat anak sendiri, dan kegiatan proses belajar mengkondisikan anak lebih aktiv tidak hanya sekedar menerima materi dari guru/pendidik.
                       
B.     Pendidikan Karakter
            Pendidikan karakter lagi ramai diperbincangkan banyak orang. Semua jenjang pendidikan, dari jenjang PAUD sampai dengan Perguruan Tinggi sangat diharapkan untuk dapat melaksanakan program pendidikan karakter. Hal ini dapat dimaklumi karena banyaknya berita-berita, info-info, baik di media cetak, media  elektronik maupun kasus-kasus yang kita saksikan di lingkungan sekitar, sangat mencerminkan merosotnya moral bangsa/masyarakat Indonesia.
            Lalu, apa yang dimaksud dengan pendidikan karakter itu sendiri? Pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti plus, yaitu yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling) dan tindakan (action). Menurut Thomas Lichona, tanpa ketiga aspek tersebut maka pendidikan karakter tidak akan tercapai.
            Karakter sendiri menurut pusat bahsa depdiknas adalah bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen, watak. Karakter mulia berarti individu memiliki pengetahuan tentang potensi dirinya yangditandai dengan nilai-nilai seperti reflektif, percaya diri, rasional, logis, kritis, analitis,kreatif dan inovatif, mandiri, hidup sehat, bertanggung jawab, cinta ilmu, sabar,berhati-hati, rela berkorban, pemberani, dapat dipercaya, jujur, menepati janji, adil,rendah hati, malu berbuat salah, pemaaf, berhati lembut, setia, bekerja keras, tekun,ulet/gigih, teliti, berinisiatif, berpikir positif, disiplin, antisipatif, inisiatif, visioner,bersahaja, bersemangat, dinamis, hemat/efisien, menghargai waktu,pengabdian/dedikatif, pengendalian diri, produktif, ramah, cinta keindahan (estetis),sportif, tabah, terbuka, tertib. Individu juga memiliki kesadaran untuk berbuat yangterbaik atau unggul dan individu juga mampu bertindak sesuai potensi dan kesadarannya tersebut. Karakteristik adalah realisasi perkembangan positif sebagaiindividu (intelektual, emosional, sosial, etika dan perilaku).
            Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada anak yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan dan tindakanuntuk melaksanakan nilai-nilai tersebut.         
            Pendidikan karakter sangat perlu ditanamkan pada generasi bangsa Indonesia. Kapan pendidikan karakter mulai ditanamkan pada anak-anak? Pendidikan karakter ditanamkan pada anak-anak sejak usia dini bahkan sejak anak dalam kandungan ibunya. Jangan pernah menunda untuk memberikan pendidikan karakter atau membentuk karakter anak. Apalagi setelah diketahui bahwa perkembangan kecerdasan otak pada anak usia dini mencapai 50% di usia 5 tahun pertama yang sering disebut Golden Age. Maka bersamaan dengan itu, pembentukan karakter anak harus dilakukan pada sejak usia tersebut secara konsisten.
            Pendidikan karakter harus diberikan secara konsisten, karena jika orang dewasa di sekitar anak tidak konsisten dalam melaksanakan proses pendidikan karakter, maka anak akan bingung dan pendidikan karakter pada anak tidak akan bisa terbentuk. Anak tidak akan paham mana yang harus diikuti, mana sikap yang benar dan mana sikap yang salah. Maka konsistensi sangat diharuskan dalam proses pendidikan karakter.
            Siapa saja yang berkewajiban melakukan pendidikan karakter terhadap anak-anak? Yang berkewajiban melaksanakan pendidikan karakter adalah keluarga, pemerintah dan masyarakat/lingkungan. Di mana pendidikan karakter dapat dilakukan? Pendidikan karakter dapat dilakukan di lingkungan keluarga, lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat.Saat ini pemerintah berusaha menanamkan pendidikan karakter di sekolah-sekolah dari jenjang terendah sampai jenjang tertinggi. Namun demikian ada elemen yang sangat berpengaruh dalam pendidikan karakter pada anak, yaitu lingkungan keluarga.

C.     Pendidikan Berbasis Keluarga
            Keluarga adalah lingkungan belajar pertama dan utama bagi anak. Sejak dalam kandungan seorang ibu, anak sudah melewati proses belajar. Ketika bayi dalam kandungan berusia 4 bulan, biasanya adat orang jawa mengadakan selamatan mapati, yang artinya anak yang mereka dambakan berusia empat bulan. Untuk orang-orang yang beraga Islam, biasanya diadakan ritual dengan membaca ayat suci Al Qur’an surat Yusuf karena diyakini dengan membaca surat tersebut anak yang ada di dalam kandungan bisa lahir cantik jika perempuan dan bagus jika laki-laki seperti Nabi Yusuf. Selain itu di dalam kandungan anak juga diperdengarkan musik-muski klasik yang konon dipercaya dapat merangsang perkembangan kecerdasan anak. Begitu juga dengan sikap dan tindakan seorang ibu. Untuk ibu yang sedang hamil diharapkan tidak mengalami stres, karena jika ibu stres maka akan berpengaruh terhadap pribadi anak yang akan dilahirkannya. Jadi dapat disampaikan bahwa di dalam kandungan pun seorang anak sudah mengalami proses belajar.
            Pasca kelahiran, sejak anak berusia 0 sampai dengan usia 6 tahun yang dalam UU Sisdiknas disebut anak usia dini, terjadi perkembangan yang sangat pesat, baik perkembangan kognitif, afektif maupun psikomotor anak. Maka diperlukan stimulus yang baik yang dapat membantu mengembangkan potensi yang dimiliki anak secara optimal. Pada usia dini, lembaga pendidikan/sekolah mempunyai peran untuk membantu mengembangkan nilai-nilai agama moral, sosial emosional dan kemandirian, kognitif, bahasa, dan fisik motorik. Namun demikian, keluarga lebih berpengaruh terhadap perkembangan anak. Sejak lahir anak berada dalam pengasuhan orang tua / keluarganya. Maka warna kepribadian anak sejak usia dini ditentukan oleh warna pendidikan dalam keluarga yang mengasuh dan membentuknya.
            Keluarga dalam membentuk karakter anak sangat dominan. Karena seperti sudah disampaikan bahwa lingkungan keluarga adalah tempat belajar anak yang pertama dan utama. Sebelum anak mengenal lingkungan yang lebih luas, seperti lingkungan sekolah dan masyarakat, terlebih dahulu anak mengenal keluarganya. Maka sikap, pola pikir dan perilaku anak pasti tidak jauh dari sikap, pola pikir dan perilaku keluarganya. Maka betul jika dikatakan bahwa jatuhnya buah tidak akan jauh dari pohonnya. Artinya sikap, pola pikir dan perilaku anak pasti tidak jauh dari orang tua / keluarga yang mengasuhnya.
            Anak dilahirkan dengan kepolosannya seperti kain putih yang tidak bermotif. Lingkunganlah yang membentuk pribadi dan karakter anak. Dalam hadist juga disaampaikan bahwa “ anak dilahirkan dengan fitrahnya. Ayahnyalah yang membuat dia menjadi yahudi, masjudi atau nasrani.” Untuk pendidikan karakter atau watak, aliran belajar empirisme benar-benar sangat diarasakan. Anak belajar  melalui interaksi dengan lingkungannya. Lingkungan sangat berperan dan berpengaruh atas hasil belajar anak. Melalui pembiasaan yang terus menerus dan konsisten, maka pendidikan watak / karakter akan dapat secara efektif terbentuk.
            Berbeda dengan perkembangan intelegensi yang lebih bersifat bawaan atau pengaruh dari gen. Intelegensi seseorang tidak sama satu dengan yang lain, tergantung dari gen orang tua, asupan gizi yang diberikan orang tua pada anak sejak dalam kandungan sampai pasca kelahiran, dan stimulus yang merangsang perkembangan otaknya/kecerdasan intelegensinya. Maka setiap anak memiliki kecerdasan intelegensi yang berbeda, tergantung dari tiga faktor yang mempengaruhi perkembangan intelegensi tersebut. Aliran belajar nativisme lebih dirasakan dalam perkembangan kecerdasan intelegensi anak.
            Namun dalam proses belajar dan mengembangkan potensi, kecerdasan dan karakter anak, aliran konvergensi sangat diperlukan untuk diaplikasikan. Selain bawaan / gen yang dimilki anak, lingkungan diharapkan dapat mempengaruhi proses belajar anak, terutama lingkungan keluarga. Mengapa lingkungan keluarga sangat berpengaruh? Selain keluarga merupakan tempat pendidikan pertama dan utama, anak juga banyak mengahabiskan waktunya bersama keluarga. Dari 24 jam (sehari semalam) waktu yang ada, pada usia pra sekolah anak menghabiskan waktunya beraktivitas di sekolah selama kurang lebih 2-3 jam, selebihnya yang 21 jam dihabiskan bersama keluarganya. Maka berhasil tidaknya dari proses belajar untuk membentuk karakter anak tergantung pola asuh keluarganya terhadap anak-anaknya.
            Ada beberapa bentuk pola pengasuhan / pendidikan keluarga terhadap anak, yaitu :
1.      Pola asuh otoriter, orang tua / keluarga secara otoriter membentuk pola pikir /karakter anak. Anak tidak diberi kebebasan berpikir dan berpendapat, anak harus menurut segala perintah dan kemauan orang tua, dan tidak boleh membantah. Model pola asuh ini sangat menghambat perkembangan pribadi anak, mennghambat kreativitas anak. Anak cenderung takut, minder dan tidak percaya diri, sehingga anak mengalami hambatan perkembangan psikisnya.
2.      Pola asuh demokratis, anak lebih diberi kebebasan dalam berfikir, bertindak dan melakukan eksplorasi maupun eksperimen dalam proses belajar. Orang tua menempatkan diri sebagai fasilitator yang akan mendorong perkembangan potensi anak, namun tetap selalu mengontrol semua aktivitas anak. Dengan model pola asuh / pendidikan keluarga ini, akan membentuk pribadi yang penuh percaya diri, mandiri, dan anak lebih berkarakter.
3.      Pola asuh permisif, sikap orang tua dalam pola asuh permisif ini memberi kebebasan sebebas-bebasnya pada anak, sehingga anak sangat leluasa untuk melakukan apa saja yang dikehendakinya tanpa arahan dan pengawasan orangtua. Anak bebas menentukan sendiri semua aktivitas yang diinginkan. Dampak dari model pola asuh pendidikan keluarga yang permisif, anak dapat terjerumus pada aktivitas negatif yang melanggar norma dan agama. Anak juga dapat terjerumus pada sikap prososial.
      Untuk itu keluarga tidak boleh salah dalam menentukan pola asuh / pendidikan dalam keluarga. Terutama untuk pendidikan karakter, keluarga tidak bisa lepas dan membiarkan anak-anaknya begitu saja tanpa arahan dan bimbingan. Pendidikan karakter dalam prosesnya tidak bisa hanya mengandalkan pendidikan lingkungan di sekolah saja. Tidak hanya tugas guru di sekolah, tapi keluargalah yang harus konsisten dalam mendidik dan membentuk karakter anak.

D.    Aplikasi Pendidikan Karakter Berbasis Keluarga dikaitkan dengan Teori Belajar

            Jika anak dibesarkan dengan celaan, maka ia belajar memaki,
            Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, maka ia belajar berkelahi,
            Jika anak dibesarkan dengan cemoohan, maka ia belajar rendah diri,
            Jika anak dibesarkan dengan penghinaan, maka ia belajar menyesali diri,
            Jika anak dibesarkan dengan toleransi, maka ia akan belajar menahan diri,
            Jika anak dibesarkan dengan dorongan, maka ia belajar percaya diri,
            Jika anak dibesarkan dengan pujian maka ia akan belajar menghargai,
            Jika anak dibesarkan dengan sebaik-baik perlakuan, maka ia belajar keadilan,
            Jika anak dibesarkan dengan rasa aman, maka ia belajar menaruh
            kepercayaan,
            Jika anak dibesarkan dengan dukungan, maka ia belajar menyenangi dirinya,
            Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang, maka ia belajar menemukan cinta
            dalam kehidupan.
           
            Sangat tidak salah jika pembentukan karakter anak dimulai dari pendidikan di dalam lingkungan keluarganya. Sikap konsistensi orangtua / keluarga dalam membentuk watak/karakter anak sangat menentukan efektifitas proses belajar anak. Apabila pendidikan karakter yang ditanamkan keluarga sudah sangat kuat, maka anak tidak lagi terpengaruh oleh lingkungan belajar di masyarakat yang sangat kompleks dan cenderung menjurus pada aktivitas negatif.
            Beberapa teori belajar dapat dikaitkan atau diplikasikan untuk proses belajar dan pembentukan karakter anak melalui pendidikan di lingkungan keluarga. Modelling dari teori belajar observasional Bandura, teori belajar konstruktivisme, teori belajar conditioning operan, serta teori belajar Ki Hajar Dewantara.
            Seperti yang sudah sering disampaikan bahwa keluarga merupakan lingkungan belajar pertama dan utama dalam proses pendidikan terutama untuk pendidikan karakter. Semua yang dilakukan orang tua atau anggota dalam keluarga, akan ditiru oleh anak, baik sikap, ucapan, maupun perilaku orang-orang yang ada di dalam lingkungan keluarga. Inilah yang dinamakan modelling atau belajar observasional yang dikemukakan oleh Bandura. Anak setiap hari, setiap waktu akan mengobservasi, menyimpan dalam memori lalu meniru  setiap perilaku yang ada dalam keluarganya. Misalnya: apabila orang tua sering atau pernah berkata kasar terhadap anggota keluarganya, maka anak akan mengamati, menyimpan dan meniru mengucapkan kata-kata kasar seperti yang diucapkan orangtuanya. Anak juga akan mengamati, menyimpan dan meniru jika orangtua selalu rajin sembahyang atau berdoa setiap hari di rumahnya. Maka jangan heran jika anak selalu membantah dan tidak mau melakukan perintah orangtuanya jika orang tuanya sendiri tidak melakukan apa yang diperintahkan. Anak selalu melihat dan meniru contoh yang bersifat kongkrit, hasil dari observasinya dalam keluarga.
            Apabila dalam keluarga selalu memberi contoh kongkrit yang baik pada anak berkaitan dengan pembentukan dan pendidikan karakter, maka anak juga akan melakukan hal-hal yang terbaik sesuai model yang diberikan orangtuanya dalam keluarga. Apabila dalam keluarga selalu patuh pada norma-norma agama, selalu mengaplikasikan pendidikan karakter dalam aktivitas sehari-hari di lingkungan  keluarga, menjunjung etika dan agama, maka dengan sendirinya anak akan terbentuk karakternya sesuai dengan contoh yang dilakukan orangtuanya. Begitu juga sebaliknya, jika orangtua menunjukkan model berupa perilaku yang buruk, yang jauh dari norma dan agama, maka anakpun akan bersikap sama sesuai contoh kongkrit yang dilakukan orangtuanya, meski anak-anak tersebut sudah diberi nasihat berkali-kali oleh orang tuanya.
            Namun demikian bukan berarti orang tua tidak perlu memberi saran atau nasihat pada anak-anaknya. Interaksi / komunikasi dalam bentuk bahasa verbal maupun non verbal sangat diperlukan dalam keluarga. Pada saat  melakukan aktivitas yang sama dalam keluarga, misalnya : makan malam bersama, membaca buku atau anak sedang belajar, atau menonton TV, maka diharapkan ada diskusi antara orangtua dan anak. Orang tua wajib memberi perhatian pada segala aktivitas anak beserta problem-problem yang dihadapi anak baik di sekolah maupun problem yang ada di rumah. Dengan diskusi diharapkan anak mampu memperoleh pemikiran-pemikiran baru yang konstruktiv yang bisa membangun konsep anak tentang sesuatu yang dihadapi di lingkungannya. Hal ini sesuai dengan teori belajar konstruktivisme yang dikemukakan oleh Vygotsky. Dengan komunikasi yang kondusif antara orang tua dan anak, diharapkan anak lebih percaya diri, mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya dengan selalu berpegang pada norma dan aturan yang berlaku di dalam masyarakat yang lebih luas. Dan aktivitas-aktivitas yang negatif yang ada di lingkungan di luar rumah yang dapat merusak moral dapat segera diantisipasi/dihindari.
            Dan apabila anak melakukan suatu tindakan yang terpuji, orangtua tidak boleh segan untuk memberi penghargaan, agar anak terbangun harga dirinya dan termotivasi untuk terus berkarya dan berprestasi. Tidak hanya sebatas prestasi akademik, tetapi kemampuan anak untuk berbuat baik terhadap sesama pun harus dihargai. Misalnya : ketika anak-anak menyisakan uang jajannya untuk ditabung atas saran gurunya di sekolah, maka orang tua harus memujinya dan menyediakan tempat tabungannya. Juga ketika anak berani menyampaikan kesalahannya, orang tua tidak boleh marah, tetapi harus menghargai kejujurannya dan mengarahkan solusi yang baik atas sikap anak-anaknya. Teori belajar conditioning operan yang dikemukakan oleh Skinner sangat perlu diaplikasikan dalam pembentukan karakter anak di rumah. Orangtua harus bisa menerima anak apa adanya, tidak hanya marah-marah dan main perintah saja, tetapi harus obyektif untuk mau memberi penghargaan jika anak melakukan suatu tindakan yang baik. Namun tetap memberi sangsi yang disesuaikan dengan kondisi dan usia anak, apabila anak melakukan kesalahan, hal ini untuk melatih sikap tanggung jawab, kemandirian dan kerja keras anak.
            Teori belajar Ki Hajar Dewantara sangat bagus untuk diaplikasikan pada pendidikan karakter di rumah / dalam keluarga. Filasafat pendidikan Ki Hajar Dewantara tentang Ing ngarso sung tulodho, ing madyo mangun karso, tutwuri handayani, sangat efektif digunakan dalam proses membentuk karakter anak. Anak benar-benar ditempatkan pada derajad yang mulia, sehingga tidak ada sikap sewenang-wenang dari orang tua dalam mendidik anak-anaknya. Orang tua sebagai contoh dalam keluarga harus benar-benar menjaga sikap, ucapan dan tindakan agar anak selalu menjalankan norma-norma dan memiliki kepribadian/watak/karakter yang baik. Orangtua juga harus mampu memotivasi dan memberi solusi jika anak-anak menghadapi suatu masalah, sehingga sikap, ucapan dan tindakan anak selalu dalam koridor norma dan agamanya. Dan dari belakang orang tua senantiasa mendorong supaya anak-anak selalu bersikap mandiri, bertanggung jawab, sportif, beretika, dan sebagainya. Misal : ketika anak mengadu pada orang tua karena melakukan kesalahan dan dihukum oleh guru, maka orang tua jangan lansung marah dan melabrak guru. Tetapi orang tua harus obyektif menanyakan kronologi tindakan yang dilakukan oleh anak sehingga orang tua mengetahui letak masalah yang sebenarnya. Jika memang anak benar melakukan kesalahan, maka orang tua wajib memberi nasihat agar anak tidak mengulang kesalahan tersebut. Begitu juga ketika anak ketahuan mengambil barang di suatu tempat dengan tidak meminta ijin pada pemiliknya, maka orang tua harus berani konsekuen dan konsisten untuk menegakkan kejujuran. Anak diminta untuk mengembalikan barang yang diambilnya tersebut, , dengan terlebih dahulu anak diajak diskusi bahwa sikap anak sangat keliru, namun konsekuensinya orang tua harus menggantinya dengan barang lain yang disukai anak, sehingga anak tidak kecewa tetapi paham dengan kesalahannya.
            Mendidik, mengasuh, apalagi membentuk karakter anak, bukan hal yang mudah dilakukan. Banyak keluarga yang gagal dalam proses pembentukan karakter. Padalal kesuksesan seseorang tergantung kualitas karakter yang dimilikinya. Sikap tanggung jawab, kemandirian, kejujuran, beretika, sopan santun, adalah modal kesuksesan seseorang. Karakter seseorang menunjukkan kecerdasan emosinya. Dan kontribusi dari kecerdasan emosi terhadap kesuksesan mencapai 80%, sedangkan 20% lainnya dikontribusi oleh kecerdasan intelegensi. Untuk itu tidak berlebihan jika dalam keluarga dituntut untuk wajib membantu membentuk karakter anak sejak usia dini. Karena pembentukan karakter memang harus dilakukan sedini mungkin, dan keluarga adalah lingkungan belajar pertama dan utama bagi anak.
                                              **__**__**__**__**