PENDIDIKAN KARAKTER BERBASIS KELUARGA
(Smart Parenting)
A. Teori-teori
Belajar
Sebelum membahas masalah pendidikan
karakter berbasis keluarga, terlebih dahulu sebagai pendidik maupun orang tua
yang mengasuh, membentuk dan membangun pola pikir anak, maka seyogyanya kita
harus memahami teori-teori belajar yang nantinya pasti bermanfaat untuk proses
dalam aktivitas pendidikan. Banyak sekali teori belajar yang dikemukan para
ahli dari hasil penelitiannya. Dalam paper ini akan dibahas beberapa teori
belajar antara lain :
1. Teori
tentang Belajar Observasional
Teori
belajar observasional dikemukan oleh Bandura, yang sebelumnya teori ini telah
diyakini dan diteliti oleh Plato dan Aristoteles. Mereka berkeyakinan bahwa
manusia belajar dengan mengamati manusia lain. Menurut mereka pendidikan sampai
tingkat tertentu adalah pemilihan model terbaik untuk disajikan kepada siswa
sehingga kualitas model itu bisa diamati dan ditiru.
Empat
proses utama yang diyakini Bandura dapat mempengaruhi jalannya belajar
observasional, yaitu :
a. Proses atensional, yakni yang menentukan aspek
mana dari situasi modelling yang akan diperhatikan.
b. Proses
retensional, yakni melibatkan pengkodean informasi secara imajinal dan verbal
sehingga bisa disimpan dan dipakai di waktu mendatang.
c. Proses
pembentukan perilaku, yakni yang melibatkan kemampuan untuk memberi respon yang
dibutuhkan untuk menterjemahkan hal-hal yang sudah dipelajari ke dalam
perilaku.
d. Proses
motivasional yakni yang menentukan aspek mana dari yang telah dipelajari yang
akan diterjemahkan ke dalam tindakan. Penguatan adalah proses motivasional
utama sebab ia bukan hanya menyebabkan pengamat fokus pada aspek fungsionnal
dari perilaku model, tetapi juga memberi insentif untuk bertindak berdasarkan
informasi yang diperoleh dari observasi itu.
Informasi
yang didapat dengan mengamati kontingensi penguatan dapat berasal dari
pengamatan langsung seseorang dengan penguatan, atau secara tak langsung
melalui pengamatan konsekuensi dari perilaku model.
Salah
satu konsep utama Bandura adalah determinisme resiprokal, yang menyatakan bahwa
ada interaksi konstan antara lingkungan, perilaku, dan orang. Menurut Bandura
dapat dikatakan bahwa perilaku memengaruhi lingkungan sebagai lingkungan
memengaruhi perilaku. Selainitu, orang memengaruhi perilaku dan lingkungan.
Maka dikatakan juga bahwa dengan modeling dapat digunakan untuk mengajarkan keahlian
baru, menghambat respons, mengajarkan kreativitas, dan mengajarkan kaidah dan
aturan umum.
Teori
Bandura dinamakan teori kognitif sosial karena ia menekankan fakta bahwa hampir
semua informasi kita peroleh dari interaksi kita dengan orang lain. Karena
teori Bandura menekankan pada proses kognitif seperti bahasa dan memori, karena
efektif sebagai pedoman dalam praktik psikoterapi, juga karena implikasinya
yang mendalam bagi pengasuhan anak dan praktik pendidikan, serta karena
kemampuannya untuk memicu riset baru, maka teori Bandura sangat populer dewasa
ini dan barangkali akan lebih populer lagi di masa depan.
2. Teori
tentang Belajar Konstruktivismeteori belajar konstruktivisme dikemukakan oleh
Vygotsky. Berikut ini merupakan prinsip-prinsip dasar dari teori Vygotsky :
a. Teori
Vygotsky menekankan interaksi interpersonal, cultural-historical, dan faktor
individual sebagai kunci perkembangan manusia, interaksi manusia dan lingkungan
dapat menstimulasi proses perkembangan khususnya perkembangan kognitif. Aspek
cutural-historical Vygotsky menjelaskan bahwa belajar dan perkembangan tidak
dapat dilepaskan dari konteksnya. Cara siswa berinteraksi dengan lingkungan
mentransformasi pikiran siswa. Makna suatu konsep berubah ketika konsep
tersebut dihubungkan dengan dunia luar. Misalnya sekolah dimaknai sebagai bukan
hanya sebagai bangunan saja melainkan sebuah institusi untuk belajar.
b. Regulasi
diri berkembang melalui internalisasi tindakan dan operasi mental yang terjadi
dalam interaksi sosial. Dalam self-regulasi ini, Vygotsy menyatakan bahwa
pembelajaran mendahului perkembangan. Menurut Vygotsky, pembelajaran melibatkan
penerimaan simbol melalui instruksi dan pemberian informasi dari orang lain.
Sedangkan perkembangan melibatkan penginternalisasian simbol yang telah
diterima oleh anak sehingga anak-anak dapat berfikir dan menyelesaikan masalah
tanpa bantuan orang lain.kemampuan inilah yang dimaksud Vygotsky sebagai
self-regulation.
c. Perkembangan
manusia terjadi melalui bahasa dan simbol. Bahasa memiliki peran penting dalam
proses pembelajaran anak. Bahasa merupakan produk dari budaya dan bahasa juga
merupakan dasar dari peradaban budaya
manusia. Dengan adanya bahasa, manusia dapat melakukan proses berfikir,
mengembangkan intelektual, dan mengatur perilaku. Dengan bahasa manusia dapat
berinteraksi sosial satu sama lain. Sedangkan apabila tidak ada bahasa, maka
manusia akan terbatas pada proses mental paling dasar. Dengan demikian Vygotsky
yakin bahwa dengan bahasa pembelajaran dan perkembangan intelektual anak akan
berkembang dengan baik.
d. Anak dapat melakukan tugas-tugas yang menantang
atau sedikit lebih sulit ketika anak dibantu oleh orang-orang yang berkompeten.
Vygotsky menyatakan bahwa anak-anak memiliki batas teratas kemampuan potensial
(actual development level) untuk melakukan tugas-tugas secara mandiri tanpa
bantuan orang lain. Akan tetapi anak-anak juga memiliki kemampuan potensial
megerjakan tugas-tugas yang lebih menantang dengan bantuan orang lain.
Kemaqmpuan anak dalam mengerjakan tugas dengan dibantu orang lain inilah yang
kemudian dikenal sebagai zona of proximal growth.
3. Teori
Belajar tentang Conditioning Operan
(Operant Conditioning)
Istilah
conditioning operan diciptakan oleh Skinner dari memiliki arti umum
conditioning perilaku. Lalu diteliti kembali oleh Thorndike. Istilah operan di sini berarti operasi yang
pengaruhnya mengakibatkan organisme melakukan perbuatan pada lingkunganya,
misalnya : perilaku motor yang biasanya merupakan perbuatan yang dilakukan
secara sadar.
Dalam
conditioning operan, terjadi tanpa didahului stimulus, melainkan oleh efek yang
ditimbulkan oleh reinforcer. Reinforcer itu sendiri sesungguhnya adalah
stimulus yang meningkatkan kemungkinan timbulnya sejumlah respons tertentu,
akan tetapi tidak sengaja diadakan sebagai pasangan stimulus lainnya seperti
dalam classical respondent conditioning.
Menurut
Skinner, bahwa untuk suatu prosedur yang menyebabkan individu bisa mengontrol
tingkah laku organisme melalui pemberian ganjaran yang bijaksana dalam
lingkungan yang relatif bebas. Skinner berpendapat bahwa perilaku manusia
selalu dikendalikan oleh faktor luar ( faktor lingkungan, rangsangan atau
stimulus ). Ia mengatakan bahwa dengan memberikan ganjaran positif maka suatu
perilaku akan ditumbuhkan dan dikembangkan. Sebaliknya jika diberikan ganjaran
yang negatif maka suatu perilaku akan dihambat.
Contoh,
anak yang buang air di celana, selalu dimarahi ibunya ( ganjaran negatif ).
Sebaliknya, jika ia mengatakan terlebih dahulu kepada ibunya bahwa ia akan
buang air sehingga ibu bisa membawanya ke WC, anak itu akan dipuji ibunya (
ganjaran positif ). Lama-kelamaan anak itu belajar buang air di WC saja, bukan
di sembarang tempat. Di pihak lain, jika anak itu mengatakan bahwa ia ingin
buang air, padahal ia tidak sakit perut, ibunya juga akan memarahinya, karena
setelah berepot-repot mendudukannya di WC, anak itu tidak mau buang air. Dengan
demikian anak itu belajar bahwa ia hanya boleh mengatakan mau buang air jika
sakit perut.
Proses
belajar seperti ini oleh Skinner dinamakan proses belajar operan.
4. Teori
Belajar Ki Hajar Dewantara
Selain
ahli dari manca negara, harus ditengok juga ahli dalam bidang pendidikan dan
merupakan pejuang pendidikan di Indonesia. Beliaulah Ki Hajar Dewnatara, yang
telah mengangkat derajad dan martabat bangsa Indonesia melalui pendidikan.
Karena sangat betul bahwa hebatnya suatu bangsa tidak bisa lepas dari
pendidikan bangsa itu sendiri.
Filsafat
pendidikan yang ditanamkan Ki Hajar Dewantara adalah ing ngarso sung tulodho, ing madyo mangun karso, tutwuri handayani.
Artinya :
-
Ing ngarso sung tulodho, seorang
pendidik apabila di depan harus bisa
menjadi panutan bagi peserta didiknya.
-
Ing madyo magun karso, seorang pendidik
apabila berada di tengah anak didiknya, harus mampu membangkitkan dan
memotivasi agar anak didik mampu
berekspresi, bereksperimen dan bereksplorasi dalam proses belajarnya.
-
Tutwuri handayani, seorang pendidik
apabila berada di belakang harus dapat memberi dorongan agar anak didik berani
untuk melakukan suatu tindakan yang membuat anak didik berprestasi.
Dalam
teori belajar yang dikemukakan Ki Hajar Dewantara, anak lebih diberi kebebasan
untuk menentukan dan mengembangkan minat dan bakat anak sendiri, dan kegiatan
proses belajar mengkondisikan anak lebih aktiv tidak hanya sekedar menerima
materi dari guru/pendidik.
B. Pendidikan
Karakter
Pendidikan
karakter lagi ramai diperbincangkan banyak orang. Semua jenjang pendidikan,
dari jenjang PAUD sampai dengan Perguruan Tinggi sangat diharapkan untuk dapat
melaksanakan program pendidikan karakter. Hal ini dapat dimaklumi karena
banyaknya berita-berita, info-info, baik di media cetak, media elektronik maupun kasus-kasus yang kita
saksikan di lingkungan sekitar, sangat mencerminkan merosotnya moral
bangsa/masyarakat Indonesia.
Lalu,
apa yang dimaksud dengan pendidikan karakter itu sendiri? Pendidikan karakter
adalah pendidikan budi pekerti plus, yaitu yang melibatkan aspek pengetahuan
(cognitive), perasaan (feeling) dan tindakan (action). Menurut Thomas Lichona,
tanpa ketiga aspek tersebut maka pendidikan karakter tidak akan tercapai.
Karakter
sendiri menurut pusat bahsa depdiknas adalah bawaan, hati, jiwa, kepribadian,
budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen, watak. Karakter
mulia berarti individu memiliki pengetahuan tentang potensi dirinya
yangditandai dengan nilai-nilai seperti reflektif, percaya diri, rasional,
logis, kritis, analitis,kreatif dan inovatif, mandiri, hidup sehat, bertanggung
jawab, cinta ilmu, sabar,berhati-hati, rela berkorban, pemberani, dapat
dipercaya, jujur, menepati janji, adil,rendah hati, malu berbuat salah, pemaaf,
berhati lembut, setia, bekerja keras, tekun,ulet/gigih, teliti, berinisiatif,
berpikir positif, disiplin, antisipatif, inisiatif, visioner,bersahaja,
bersemangat, dinamis, hemat/efisien, menghargai waktu,pengabdian/dedikatif,
pengendalian diri, produktif, ramah, cinta keindahan (estetis),sportif, tabah,
terbuka, tertib. Individu juga memiliki kesadaran untuk berbuat yangterbaik
atau unggul dan individu juga mampu bertindak sesuai potensi dan kesadarannya
tersebut. Karakteristik adalah realisasi perkembangan positif sebagaiindividu
(intelektual, emosional, sosial, etika dan perilaku).
Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter
kepada anak yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran
atau kemauan dan tindakanuntuk melaksanakan nilai-nilai
tersebut.
Pendidikan
karakter sangat perlu ditanamkan pada generasi bangsa Indonesia. Kapan
pendidikan karakter mulai ditanamkan pada anak-anak? Pendidikan karakter
ditanamkan pada anak-anak sejak usia dini bahkan sejak anak dalam kandungan
ibunya. Jangan pernah menunda untuk memberikan pendidikan karakter atau
membentuk karakter anak. Apalagi setelah diketahui bahwa perkembangan
kecerdasan otak pada anak usia dini mencapai 50% di usia 5 tahun pertama yang
sering disebut Golden Age. Maka bersamaan dengan itu, pembentukan karakter anak
harus dilakukan pada sejak usia tersebut secara konsisten.
Pendidikan
karakter harus diberikan secara konsisten, karena jika orang dewasa di sekitar
anak tidak konsisten dalam melaksanakan proses pendidikan karakter, maka anak
akan bingung dan pendidikan karakter pada anak tidak akan bisa terbentuk. Anak
tidak akan paham mana yang harus diikuti, mana sikap yang benar dan mana sikap
yang salah. Maka konsistensi sangat diharuskan dalam proses pendidikan
karakter.
Siapa
saja yang berkewajiban melakukan pendidikan karakter terhadap anak-anak? Yang
berkewajiban melaksanakan pendidikan karakter adalah keluarga, pemerintah dan
masyarakat/lingkungan. Di mana pendidikan karakter dapat dilakukan? Pendidikan
karakter dapat dilakukan di lingkungan keluarga, lingkungan sekolah dan
lingkungan masyarakat.Saat ini pemerintah berusaha menanamkan pendidikan
karakter di sekolah-sekolah dari jenjang terendah sampai jenjang tertinggi.
Namun demikian ada elemen yang sangat berpengaruh dalam pendidikan karakter
pada anak, yaitu lingkungan keluarga.
C. Pendidikan
Berbasis Keluarga
Keluarga
adalah lingkungan belajar pertama dan utama bagi anak. Sejak dalam kandungan
seorang ibu, anak sudah melewati proses belajar. Ketika bayi dalam kandungan
berusia 4 bulan, biasanya adat orang jawa mengadakan selamatan mapati, yang
artinya anak yang mereka dambakan berusia empat bulan. Untuk orang-orang yang
beraga Islam, biasanya diadakan ritual dengan membaca ayat suci Al Qur’an surat
Yusuf karena diyakini dengan membaca surat tersebut anak yang ada di dalam
kandungan bisa lahir cantik jika perempuan dan bagus jika laki-laki seperti Nabi
Yusuf. Selain itu di dalam kandungan anak juga diperdengarkan musik-muski
klasik yang konon dipercaya dapat merangsang perkembangan kecerdasan anak.
Begitu juga dengan sikap dan tindakan seorang ibu. Untuk ibu yang sedang hamil
diharapkan tidak mengalami stres, karena jika ibu stres maka akan berpengaruh
terhadap pribadi anak yang akan dilahirkannya. Jadi dapat disampaikan bahwa di
dalam kandungan pun seorang anak sudah mengalami proses belajar.
Pasca
kelahiran, sejak anak berusia 0 sampai dengan usia 6 tahun yang dalam UU
Sisdiknas disebut anak usia dini, terjadi perkembangan yang sangat pesat, baik
perkembangan kognitif, afektif maupun psikomotor anak. Maka diperlukan stimulus
yang baik yang dapat membantu mengembangkan potensi yang dimiliki anak secara
optimal. Pada usia dini, lembaga pendidikan/sekolah mempunyai peran untuk
membantu mengembangkan nilai-nilai agama moral, sosial emosional dan
kemandirian, kognitif, bahasa, dan fisik motorik. Namun demikian, keluarga
lebih berpengaruh terhadap perkembangan anak. Sejak lahir anak berada dalam
pengasuhan orang tua / keluarganya. Maka warna kepribadian anak sejak usia dini
ditentukan oleh warna pendidikan dalam keluarga yang mengasuh dan membentuknya.
Keluarga
dalam membentuk karakter anak sangat dominan. Karena seperti sudah disampaikan
bahwa lingkungan keluarga adalah tempat belajar anak yang pertama dan utama.
Sebelum anak mengenal lingkungan yang lebih luas, seperti lingkungan sekolah
dan masyarakat, terlebih dahulu anak mengenal keluarganya. Maka sikap, pola
pikir dan perilaku anak pasti tidak jauh dari sikap, pola pikir dan perilaku
keluarganya. Maka betul jika dikatakan bahwa jatuhnya buah tidak akan jauh dari
pohonnya. Artinya sikap, pola pikir dan perilaku anak pasti tidak jauh dari
orang tua / keluarga yang mengasuhnya.
Anak
dilahirkan dengan kepolosannya seperti kain putih yang tidak bermotif.
Lingkunganlah yang membentuk pribadi dan karakter anak. Dalam hadist juga
disaampaikan bahwa “ anak dilahirkan dengan fitrahnya. Ayahnyalah yang membuat
dia menjadi yahudi, masjudi atau nasrani.” Untuk pendidikan karakter atau
watak, aliran belajar empirisme benar-benar sangat diarasakan. Anak
belajar melalui interaksi dengan
lingkungannya. Lingkungan sangat berperan dan berpengaruh atas hasil belajar
anak. Melalui pembiasaan yang terus menerus dan konsisten, maka pendidikan
watak / karakter akan dapat secara efektif terbentuk.
Berbeda
dengan perkembangan intelegensi yang lebih bersifat bawaan atau pengaruh dari
gen. Intelegensi seseorang tidak sama satu dengan yang lain, tergantung dari
gen orang tua, asupan gizi yang diberikan orang tua pada anak sejak dalam
kandungan sampai pasca kelahiran, dan stimulus yang merangsang perkembangan
otaknya/kecerdasan intelegensinya. Maka setiap anak memiliki kecerdasan intelegensi
yang berbeda, tergantung dari tiga faktor yang mempengaruhi perkembangan
intelegensi tersebut. Aliran belajar nativisme lebih dirasakan dalam
perkembangan kecerdasan intelegensi anak.
Namun
dalam proses belajar dan mengembangkan potensi, kecerdasan dan karakter anak,
aliran konvergensi sangat diperlukan untuk diaplikasikan. Selain bawaan / gen
yang dimilki anak, lingkungan diharapkan dapat mempengaruhi proses belajar
anak, terutama lingkungan keluarga. Mengapa lingkungan keluarga sangat berpengaruh?
Selain keluarga merupakan tempat pendidikan pertama dan utama, anak juga banyak
mengahabiskan waktunya bersama keluarga. Dari 24 jam (sehari semalam) waktu
yang ada, pada usia pra sekolah anak menghabiskan waktunya beraktivitas di
sekolah selama kurang lebih 2-3 jam, selebihnya yang 21 jam dihabiskan bersama
keluarganya. Maka berhasil tidaknya dari proses belajar untuk membentuk
karakter anak tergantung pola asuh keluarganya terhadap anak-anaknya.
Ada
beberapa bentuk pola pengasuhan / pendidikan keluarga terhadap anak, yaitu :
1. Pola
asuh otoriter, orang tua / keluarga secara otoriter membentuk pola pikir
/karakter anak. Anak tidak diberi kebebasan berpikir dan berpendapat, anak
harus menurut segala perintah dan kemauan orang tua, dan tidak boleh membantah.
Model pola asuh ini sangat menghambat perkembangan pribadi anak, mennghambat
kreativitas anak. Anak cenderung takut, minder dan tidak percaya diri, sehingga
anak mengalami hambatan perkembangan psikisnya.
2. Pola
asuh demokratis, anak lebih diberi kebebasan dalam berfikir, bertindak dan
melakukan eksplorasi maupun eksperimen dalam proses belajar. Orang tua
menempatkan diri sebagai fasilitator yang akan mendorong perkembangan potensi
anak, namun tetap selalu mengontrol semua aktivitas anak. Dengan model pola
asuh / pendidikan keluarga ini, akan membentuk pribadi yang penuh percaya diri,
mandiri, dan anak lebih berkarakter.
3. Pola
asuh permisif, sikap orang tua dalam pola asuh permisif ini memberi kebebasan
sebebas-bebasnya pada anak, sehingga anak sangat leluasa untuk melakukan apa
saja yang dikehendakinya tanpa arahan dan pengawasan orangtua. Anak bebas
menentukan sendiri semua aktivitas yang diinginkan. Dampak dari model pola asuh
pendidikan keluarga yang permisif, anak dapat terjerumus pada aktivitas negatif
yang melanggar norma dan agama. Anak juga dapat terjerumus pada sikap
prososial.
Untuk
itu keluarga tidak boleh salah dalam menentukan pola asuh / pendidikan dalam
keluarga. Terutama untuk pendidikan karakter, keluarga tidak bisa lepas dan
membiarkan anak-anaknya begitu saja tanpa arahan dan bimbingan. Pendidikan
karakter dalam prosesnya tidak bisa hanya mengandalkan pendidikan lingkungan di
sekolah saja. Tidak hanya tugas guru di sekolah, tapi keluargalah yang harus
konsisten dalam mendidik dan membentuk karakter anak.
D. Aplikasi
Pendidikan Karakter Berbasis Keluarga dikaitkan dengan Teori Belajar
Jika anak dibesarkan dengan celaan, maka ia
belajar memaki,
Jika anak dibesarkan dengan
permusuhan, maka ia belajar berkelahi,
Jika anak dibesarkan dengan
cemoohan, maka ia belajar rendah diri,
Jika anak dibesarkan dengan
penghinaan, maka ia belajar menyesali diri,
Jika anak dibesarkan dengan
toleransi, maka ia akan belajar menahan diri,
Jika anak dibesarkan dengan
dorongan, maka ia belajar percaya diri,
Jika anak dibesarkan dengan pujian
maka ia akan belajar menghargai,
Jika anak dibesarkan dengan
sebaik-baik perlakuan, maka ia belajar keadilan,
Jika anak dibesarkan dengan rasa
aman, maka ia belajar menaruh
kepercayaan,
Jika anak dibesarkan dengan
dukungan, maka ia belajar menyenangi dirinya,
Jika anak dibesarkan dengan kasih
sayang, maka ia belajar menemukan cinta
dalam kehidupan.
Sangat
tidak salah jika pembentukan karakter anak dimulai dari pendidikan di dalam lingkungan
keluarganya. Sikap konsistensi orangtua / keluarga dalam membentuk
watak/karakter anak sangat menentukan efektifitas proses belajar anak. Apabila
pendidikan karakter yang ditanamkan keluarga sudah sangat kuat, maka anak tidak
lagi terpengaruh oleh lingkungan belajar di masyarakat yang sangat kompleks dan
cenderung menjurus pada aktivitas negatif.
Beberapa
teori belajar dapat dikaitkan atau diplikasikan untuk proses belajar dan
pembentukan karakter anak melalui pendidikan di lingkungan keluarga. Modelling
dari teori belajar observasional Bandura, teori belajar konstruktivisme, teori
belajar conditioning operan, serta teori belajar Ki Hajar Dewantara.
Seperti
yang sudah sering disampaikan bahwa keluarga merupakan lingkungan belajar
pertama dan utama dalam proses pendidikan terutama untuk pendidikan karakter.
Semua yang dilakukan orang tua atau anggota dalam keluarga, akan ditiru oleh
anak, baik sikap, ucapan, maupun perilaku orang-orang yang ada di dalam
lingkungan keluarga. Inilah yang dinamakan modelling atau belajar observasional
yang dikemukakan oleh Bandura. Anak setiap hari, setiap waktu akan
mengobservasi, menyimpan dalam memori lalu meniru setiap perilaku yang ada dalam keluarganya.
Misalnya: apabila orang tua sering atau pernah berkata kasar terhadap anggota
keluarganya, maka anak akan mengamati, menyimpan dan meniru mengucapkan
kata-kata kasar seperti yang diucapkan orangtuanya. Anak juga akan mengamati,
menyimpan dan meniru jika orangtua selalu rajin sembahyang atau berdoa setiap
hari di rumahnya. Maka jangan heran jika anak selalu membantah dan tidak mau
melakukan perintah orangtuanya jika orang tuanya sendiri tidak melakukan apa
yang diperintahkan. Anak selalu melihat dan meniru contoh yang bersifat
kongkrit, hasil dari observasinya dalam keluarga.
Apabila
dalam keluarga selalu memberi contoh kongkrit yang baik pada anak berkaitan
dengan pembentukan dan pendidikan karakter, maka anak juga akan melakukan
hal-hal yang terbaik sesuai model yang diberikan orangtuanya dalam keluarga.
Apabila dalam keluarga selalu patuh pada norma-norma agama, selalu
mengaplikasikan pendidikan karakter dalam aktivitas sehari-hari di
lingkungan keluarga, menjunjung etika
dan agama, maka dengan sendirinya anak akan terbentuk karakternya sesuai dengan
contoh yang dilakukan orangtuanya. Begitu juga sebaliknya, jika orangtua
menunjukkan model berupa perilaku yang buruk, yang jauh dari norma dan agama,
maka anakpun akan bersikap sama sesuai contoh kongkrit yang dilakukan
orangtuanya, meski anak-anak tersebut sudah diberi nasihat berkali-kali oleh
orang tuanya.
Namun
demikian bukan berarti orang tua tidak perlu memberi saran atau nasihat pada
anak-anaknya. Interaksi / komunikasi dalam bentuk bahasa verbal maupun non
verbal sangat diperlukan dalam keluarga. Pada saat melakukan aktivitas yang sama dalam keluarga,
misalnya : makan malam bersama, membaca buku atau anak sedang belajar, atau
menonton TV, maka diharapkan ada diskusi antara orangtua dan anak. Orang tua
wajib memberi perhatian pada segala aktivitas anak beserta problem-problem yang
dihadapi anak baik di sekolah maupun problem yang ada di rumah. Dengan diskusi
diharapkan anak mampu memperoleh pemikiran-pemikiran baru yang konstruktiv yang
bisa membangun konsep anak tentang sesuatu yang dihadapi di lingkungannya. Hal
ini sesuai dengan teori belajar konstruktivisme yang dikemukakan oleh Vygotsky.
Dengan komunikasi yang kondusif antara orang tua dan anak, diharapkan anak
lebih percaya diri, mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya dengan selalu
berpegang pada norma dan aturan yang berlaku di dalam masyarakat yang lebih
luas. Dan aktivitas-aktivitas yang negatif yang ada di lingkungan di luar rumah
yang dapat merusak moral dapat segera diantisipasi/dihindari.
Dan
apabila anak melakukan suatu tindakan yang terpuji, orangtua tidak boleh segan
untuk memberi penghargaan, agar anak terbangun harga dirinya dan termotivasi
untuk terus berkarya dan berprestasi. Tidak hanya sebatas prestasi akademik,
tetapi kemampuan anak untuk berbuat baik terhadap sesama pun harus dihargai.
Misalnya : ketika anak-anak menyisakan uang jajannya untuk ditabung atas saran
gurunya di sekolah, maka orang tua harus memujinya dan menyediakan tempat tabungannya.
Juga ketika anak berani menyampaikan kesalahannya, orang tua tidak boleh marah,
tetapi harus menghargai kejujurannya dan mengarahkan solusi yang baik atas
sikap anak-anaknya. Teori belajar conditioning operan yang dikemukakan oleh
Skinner sangat perlu diaplikasikan dalam pembentukan karakter anak di rumah.
Orangtua harus bisa menerima anak apa adanya, tidak hanya marah-marah dan main
perintah saja, tetapi harus obyektif untuk mau memberi penghargaan jika anak
melakukan suatu tindakan yang baik. Namun tetap memberi sangsi yang disesuaikan
dengan kondisi dan usia anak, apabila anak melakukan kesalahan, hal ini untuk
melatih sikap tanggung jawab, kemandirian dan kerja keras anak.
Teori
belajar Ki Hajar Dewantara sangat bagus untuk diaplikasikan pada pendidikan
karakter di rumah / dalam keluarga. Filasafat pendidikan Ki Hajar Dewantara
tentang Ing ngarso sung tulodho, ing madyo mangun karso, tutwuri handayani,
sangat efektif digunakan dalam proses membentuk karakter anak. Anak benar-benar
ditempatkan pada derajad yang mulia, sehingga tidak ada sikap sewenang-wenang
dari orang tua dalam mendidik anak-anaknya. Orang tua sebagai contoh dalam
keluarga harus benar-benar menjaga sikap, ucapan dan tindakan agar anak selalu
menjalankan norma-norma dan memiliki kepribadian/watak/karakter yang baik.
Orangtua juga harus mampu memotivasi dan memberi solusi jika anak-anak
menghadapi suatu masalah, sehingga sikap, ucapan dan tindakan anak selalu dalam
koridor norma dan agamanya. Dan dari belakang orang tua senantiasa mendorong
supaya anak-anak selalu bersikap mandiri, bertanggung jawab, sportif, beretika,
dan sebagainya. Misal : ketika anak mengadu pada orang tua karena melakukan
kesalahan dan dihukum oleh guru, maka orang tua jangan lansung marah dan
melabrak guru. Tetapi orang tua harus obyektif menanyakan kronologi tindakan
yang dilakukan oleh anak sehingga orang tua mengetahui letak masalah yang
sebenarnya. Jika memang anak benar melakukan kesalahan, maka orang tua wajib
memberi nasihat agar anak tidak mengulang kesalahan tersebut. Begitu juga
ketika anak ketahuan mengambil barang di suatu tempat dengan tidak meminta ijin
pada pemiliknya, maka orang tua harus berani konsekuen dan konsisten untuk
menegakkan kejujuran. Anak diminta untuk mengembalikan barang yang diambilnya
tersebut, , dengan terlebih dahulu anak diajak diskusi bahwa sikap anak sangat
keliru, namun konsekuensinya orang tua harus menggantinya dengan barang lain
yang disukai anak, sehingga anak tidak kecewa tetapi paham dengan kesalahannya.
Mendidik,
mengasuh, apalagi membentuk karakter anak, bukan hal yang mudah dilakukan.
Banyak keluarga yang gagal dalam proses pembentukan karakter. Padalal
kesuksesan seseorang tergantung kualitas karakter yang dimilikinya. Sikap
tanggung jawab, kemandirian, kejujuran, beretika, sopan santun, adalah modal
kesuksesan seseorang. Karakter seseorang menunjukkan kecerdasan emosinya. Dan
kontribusi dari kecerdasan emosi terhadap kesuksesan mencapai 80%, sedangkan
20% lainnya dikontribusi oleh kecerdasan intelegensi. Untuk itu tidak
berlebihan jika dalam keluarga dituntut untuk wajib membantu membentuk karakter
anak sejak usia dini. Karena pembentukan karakter memang harus dilakukan sedini
mungkin, dan keluarga adalah lingkungan belajar pertama dan utama bagi anak.
**__**__**__**__**