APLIKASI PEMBELAJARAN
DIKAITKAN
DENGAN TEORI KONSTRUKTIVISME
I.
TEORI KONSTRUKTIVISME
A. Substansi Teori Konstruktivisme
Teori konstruktivisme dikemukakan
oleh Vygotsky, Piaget, dan John Dewey. Di Indonesia teori belajar
konstruktivisme dikembaangkan oleh Ki Hajar Dewantara, yang dikenal semboyannya
dalam pendidikan yaitu ing ngarso sun tulodho (bila berada di depan anak didik diberi contoh tauladan), ing madyo
mbangun karso ( bila berada di tengah-tengah anak didik, bangunkan keinginan
anak untuk belajar), tutwuri handayani ( bila di belakang anak didik, beri
dorongan semangat ).
Definisi belajar konstruktivisme
adalah proses membangun atau membentuk mankna, pengetahuan, konsep, dan gagasan
melalui pengalaman. Adapun prinsip dari belajar konstruktivisme yaitu seseorang
membangun suatu realitas berdasarkan pengalaman dan interaksi dengan lingkungan, melalui pemecahan masalah yang
riil, biasanya dalam suatu mekanisme kolaboratif.
Implikasi dan aplikasi dalam
pembelajaran konstruktivisme yakni mendorong siswa bersikap lebih otonom dalam
‘menterjemahkan’ pengetahuan yang diperoleh, melalui memecahkan masalah yang
riil, kompleks dan bermakna bagi siswa. Dialog dalam kelompok belajar bersama,
bimbingan dalam proses pembentukan pemahaman.
Konstruktivisme memaknai ‘belajar’
sebagai ‘proses mengkonstruksi pengetahuan’ melalui proses internal seseorang
dan interaksi dengan orang lain. Dengan demikian hasil belajar akan dipengaruhi
oleh tingkat kematangan berfikir, pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya,
serta faktor internal lainnya, seperti konsep diri dan percaya diri dalam
proses belajar. Di samping itu hasil belajar juga dapat dipengaruhi oleh dialog
dengan orang lain dan lingkungan, seperti lingkungan budaya dan tingkat sosial
ekonomi. Perspekstif konstruktivisme pembelajaran, dimaksudkan untuk mendukung
proses belajar aktif yang berguna untuk membentuk pengetahuan dan pemahaman.
Karakteristik yang juga merupakan
prinsip dasar perspektif konstruktivisme dalam pembelajaran adalah sebagai
berikut :
1.
Mengembangkan strategi alternatif untuk
memperoleh dan menganalisis informasi.
2.
Dimungkinkannya perspektif jamak
(multple perspsektive) dalam proses belajar.
3.
Peran siswa utama dalam proses belajar,
baik dalam mengatur atau mengendalikan proses berfikirnya sendiri maupun ketika
berinteraksi dengan lingkungannya.
4.
Penggunaan scaffolding dalam
pembelajaran.
5.
Peranan pendidik / guru lebih sebagai
tutor, fasilitator, dan mentor untuk mendukung kelancaran dan keberhasilan
proses belajar siswa.
6.
Pentingnya kegiatan belajar dan evaluasi
belajar yang otentik.
Sebagai
model yang mengutamakan keaktifan siswa dan pengembangan kemampuan berfikir tinggi
(kompleks), model pembelajaran konstruktivistik yang sering digunakan adalah
pembelajaran menemukan (discovery learning) dan pembelajaran berbasis masalah
(problem-based learning), yang biasanya menggunakan prosedur pemberian tugas,
kerja kelompok dan berbagi informasi.
B.
Kelebihan dan Kekurangan teori
Konstruktivisme dalam Pembelajaran
Setiap teori selalu ada kekurangan
dan kelebihan jka diaplikasikan dalam pembelajaran di sekolah.
Adapun
kelebihan dari teori konstruktivisme yaitu :
1.
Berfikir dalam proses membina
pengetahuan baru, siswa belajar berfikir untuk menyelesaikan masalah, dan
berani mengambil suatu keputusan.
2.
Siswa lebih faham dengan apa yang
dipelajari dan dapat mengaplikasikan dalam smua situasi.
3.
Siswa selalu teringat dengan konsep yang
mereka bangun melalui proses belajarnya.
4.
Interaksi antara siswa dengan siswa,
siswa dengan guru, serta siswa dengan lingkungan semakin baik.
Kemudian kelemahannya jika teori
konstruktivisme jika dikaitkan dengan pembelajaran, yaitu :
1.
Optimalisasi hasil belajar tergantung
dari sarana prasarana yang tersedia.
2.
Apabila siswa tidak aktiv maka proses
belajar akan terhambat dan hasil belajar
tidak optimal.
3.
Jika lingkungan keluarga tidak mendukung
proses pembelajaran, maka siswa akan mengalami kesulitan dalam interaksi dengan
lingkungan, sehingga hasil belajarnya tidak maksimal.
C.
Contoh Skenario Pembelajaran yang
Berbasiskan Teori Konstruktivisme
Jenjang
Pendidikan : Pendidikan
Anak Usia Dini Formal / TK
Usia
:
5-6 tahun
Aspek
yang
dikembangkan : Kognitif,
Afektif, Bahasa, dan Fisik Motorik
Kegiatan :
Guru
membuka Area Balok untuk kegiatan anak. Anak dibagi menjadi beberapa kelompok.
Dalam kelompok terdiri dari 3 anak, dengan disediakan bermacam-macam bentuk
balok dan karton yang dipotong berbentuk geometri sebagai alas bangunan balok
untuk setiap kelompok. Anak didik diberi tugas dengan metode demonstrasi untuk
membuat berbagai macam bentuk bangunan dari balok dengan balok-balok yang sudah
disediakan oleh guru. Selama kegiatan guru terus memberi arahan, bimbingan
kepada anak, namun memberi kebebasan mereka untuk berkreasi sesuai yang
diinginkan kelompoknya masing-masing model bangunan apa yang akan mereka
buat/bentuk. Dari berbagai fikiran anak
dalam kelompok, juga dengan alas karton yang berbentuk geometri yang
berbeda-beda dan bentuk-bentuk balok yang berbeda, maka akan terciptalah berbagai model bangunan
balok yang tentu berbeda-beda. Setelah kegiatan selesai, bangunan balok
tidak boleh dibongkar dulu, karena semua anak dipersilakan untuk melihat dan
mengamati hasil bangunan dari kelompok-kelompok yang lain sebagai tambahan
belajar mereka.
II.
Analisis Film Suku Rimba di Jambi
Proses pendidikan yang dilakukan Butet
Manurung pada suku Rimba di Jambi sangat unik dan menarik. Pembelajarannya
sangat kontekstual. Butet Manurung mengikuti adat istiadat suku Rimba namun
tetap berkomitmen untuk merubah peradaban mereka supaya lebih baik. Hal ini
terbukti ketika mereka berpindah tempat tinggal yang biasa mereka lakukan dan
Butet Manurung mengikuti mereka berpindah tempat. Bersama mereka, dengan adat
istiadat yang begitu kental, peralatan yang sangat sederhana, lokasi yang
sangat sulit dijangkau Butet Manurung menemani mereka bersama alam.
Proses pembelajaran yang mereka
lakukan jika dikaitkan dengan teori konstruktivisme, antara lain ketika mereka
belajar dan melakukan suatu permainan. Mereka
berinteraksi, mereka berfikir, bagaimana caranya supaya mereka menang dalam
permainan tersebut, namun tetap dalam suasana gembira, dan tidak saling
bermusuhan. Juga mereka tidak hanya belajar membaca, menulis dan berhitung,
tetapi mereka juga belajar masak bersama dengan kondisi alam yang ada, dengan
peralatan yang sangat sederhana.
Begitu dengan kegiatan belajar
membaca, menulis dan berhitung. Mereka melaksanakan kegiatan tersebut dengan
sarana prasarana yang sangat minim, dan sama sekali tidak ada suasana formal.
Dengan baju seadanya, tempat seadanya, buku dan pensil ala kadarnya, tapi
mereka mampu membaca dan menulis sehingga mereka tidak lagi buta huruf. Kegiatan
belajar mengajar sangat tidak formal dan tergantung dengan alam. Mereka tidak ada yang memaksakan untuk
harus belajar, karena sesungguhnya justru mereka ditentang dari banyak orang
dari sukunya ketika mereka belajar. Tapi dengan kesadaran sendiri, keaktifan
dan kemauan sendiri untuk belajar,
mereka siswa – siswa suku Rimba bersekolah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar